Rabu, 18 Januari 2012

Fenomena antariksa: bagaimana menyikapinya

Bagi yang rajin mengikuti perkembangan berita di Indonesia baik itu lewat TV maupun internet, akan menyadari bahwa belakangan ini seringkali beredar berita-berita heboh terkait dengan “fenomena alam semesta”.  Mulai langit terbelah hingga satelit dan meteor jatuh (ini yang paling sering).
Sepertinya berita-berita ini banyak bermunculan setelah isu kiamat 2012 dihembuskan oleh beberapa orang/pihak di negeri ini. Karena isu ini dikaitkan dengan keantariksaan seperti aktivitas Matahari dan benda jatuh antariksa maka LAPAN sebagai lembaga resmi yang menangani keantariksaan di Indonesia sering diminta oleh berbagai pihak untuk memberi penjelasan. Ini tantangan bagi LAPAN untuk mampu menjelaskan kepada masyarakat sekaligus peluang agar lebih dikenal.
(catatan: sebagian besar isi tulisan ini diambil dari tulisan sebelumnya berjudul “Menyongsong tahun baru 2012″)

Fenomena badai Matahari

Ilustrasi badai Matahari merambat ke Bumi
Memang awalnya tahun 2011 dan 2012 diperkirakan adalah masa di mana Matahari mencapai puncak aktivitasnya namun sekarang perkiraannya bergeser menjadi 2013. Ketika berada di puncak aktivitasnya ini, frekuensi ledakan di permukaan Matahari yang menimbulkan badai geomagnet di Bumi meningkat sekitar 10 kali dibanding ketika Matahari dalam kondisi normal. Akan tetapi, walaupun melepaskan energi yang sangat tinggi, ledakan berupa flare atau coronal mass ejection (CME) ini bersifat lokal. Tidak terjadi di seluruh permukaan Matahari. Ledakan di Matahari tidak sama dengan Matahari yang meledak. Lebih tidak sama lagi dengan kiamat yang cuma sekali terjadi dan langsung menghancurkan seluruh alam semesta ini.
Manusia sudah berkali-kali mengalami puncak aktivitas Matahari sebagaimana isu kiamat. Sejak tahun 1750 manusia telah mengalami 23 kali Matahari di puncak aktivitasnya. Sekarang kita sedang menuju puncak aktivitas ke-24. Untungnya, bahaya yang mungkin timbul akibat ledakan Matahari tidak berpotensi merusak semuanya tapi hanya sistem teknologi terutama yang ditempatkan di luar angkasa. Manusia jaman dulu yang belum mengenal teknologi listrik tidak pernah mengalami kerugian akibat ledakan di Matahari. Hanya manusia jaman sekarang yang mungkin dirugikan karena ledakan di Matahari berpotensi merusak karya teknologi mereka jika tidak mampu menyesuaikan diri. Berbeda sekali dengan manusia jaman dulu yang merasakan akibat ledakan tersebut semata keindahan karena yang mereka alami hanya keindahan aurora di daerah-daerah lintang tinggi dan kadang di lintang menengah.
Fenomena sampah antariksa

Populasi sampah antariksa
Sampah antariksa (orbital debris) adalah benda buatan manusia yang mengitari Bumi selain satelit yang berfungsi. Sebagaimana biasanya sampah, sampah antariksa pun bersifat merugikan karena dapat bertabrakan dengan satelit yang masih aktif dan mungkin jatuh ke Bumi dalam kondisi yang tidak dikendalikan. Saat ini jumlah sampah antariksa yang berukuran di atas 10 cm adalah sekitar 15 ribu buah. Yang berukuran lebih kecil tidak terhitung jumlahnya.
A. Tabrakan satelit dengan sampah antariksa
Contoh hasil tabrakan dua benda antariksa
Pada Februari 2009, media cukup ramai memberitakan kejadian tabrakan antara satelit Iridium 33 milik Amerika Serikat yang masih aktif dengan sampah antariksa milik Rusia. Ini adalah kasus pertama sebuah satelit aktif ditabrak oleh benda antariksa utuh (bukan berupa serpihan).
Seperti halnya puncak aktivitas Matahari, tabrakan benda-benda antariksa buatan juga bukan hal baru. Tabrakan semacam ini telah terjadi sejak tahun 1991 dan diperkirakan puncaknya tidak terjadi di 2012. Kemungkinan tabrakan antar benda buatan diperkirakan akan terus meningkat jika antisipasi tidak dilakukan mulai saat ini. Akan tetapi, sekalipun 15 ribuan benda-benda buatan itu saling bertubrukan, tidak akan ada apa-apanya dibanding tubrukan antar planet yang beratnya mencapai 6×1021 ton (untuk Bumi) dengan laju mencapai 100 ribu km/jam (untuk laju orbit Bumi). Tubrukan maha dahsyat yang mungkin saja dialami bumi ketika kiamat ini akan menghancurkan semua yang ada di Bumi ini.
Sejak awal manusia meluncurkan roket ke ruang angkasa di tahun 1957 hingga kini, baru empat kali terjadi tubrukan antar benda antariksa buatan secara alami. Tapi di masa depan diperkirakan tubrukan ini akan makin sering terjadi. Mengapa? Sebab saat itu populasi benda antariksa buatan di orbit rendah telah melewati titik kritis di mana laju pertambahan benda antariksa telah melampaui laju pengurangannya akibat terjatuh ke atmosfer. Bahkan sekalipun tidak ada lagi peluncuran roket sejak saat ini, populasi benda antariksa akan terus bertambah akibat tabrakan antar sesama benda antariksa yang menghasilkan serpihan-serpihan sebagai benda-benda antariksa yang baru.
Terbentuknya serpihan-sepihan antariksa yang baru tidak hanya terjadi secara alami. Penembakan satelit Fengyun 1C oleh Angkatan Bersenjata RRC pada Januari 2007 dan satelit USA 193 oleh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat pada Februari 2008 telah turut memperbesar populasi sampah antariksa. Sampah yang terbentuk di ketinggian 500 km paling lama hanya beberapa tahun menghantui satelit sebelum jatuh ke Bumi akan tetapi sampah di ketinggian 1000 km akan menghantui satelit-satelit yang aktif selama ratusan tahun sebelum jatuh ke Bumi, sedangkan sampah di GEO sampai kapan pun tidak akan jatuh ke Bumi.
B. Jatuhnya sampah antariksa

Contoh sampah antariksa
Sampah antariksa yang berketinggian kurang dari 2000 km suatu saat akan jatuh ke Bumi dan berpotensi menimbulkan kerusakan.  Fakta menunjukkan bahwa di antara  lebih dari 20 ribu benda antariksa buatan yang jatuh ke bumi hingga saat ini, 33% di antaranya berukuran cukup besar untuk sampai ke permukaan bumi. Peristiwa jatuhnya satelit Cosmos 954 milik Uni Soviet yang mengandung muatan nuklir di Perairan Kanada pada tahun 1978 adalah bukti yang tidak terbantahkan.
Dibanding negara lain, negara kita harus lebih waspada sebab wilayahnya membentang lebar di khatulistiwa sehingga secara umum memiliki resiko kejatuhan sampah antariksa yang lebih besar daripada kebanyakan negara lainnya. Hingga saat ini, LAPAN telah mengidentifikasi tiga sampah antariksa yang jatuh di wilayah Indonesia. Jumlah yang jatuh bisa jadi jauh lebih banyak.
Fenomena jatuhnya meteor
Contoh meteorit yang ditemukan jatuh di Indonesia (sebesar pepaya)
Selain benda buatan, benda alami pun mungkin jatuh ke Bumi. Benda-benda ini dapat berupa pecahan asteroid dan komet, debu-debu komet, atau batuan tata surya lainnya. Benda-benda alami yang dinamakan meteoroid ini sebagian besar terbakar habis di atmosfer sehingga tidak menimbulkan bahaya di permukaan  Bumi. Benda yang selamat sampai ke permukaan Bumi dinamakan meteorit.
Sejauh ini diketahui tidak ada peningkatan jumlah meteoroid yang jatuh ke bumi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Karena itu tidak betul jika ada yang menganggap bahwa maraknya berita meteor jatuh di Indonesia belakangan ini terkait dengan isu kiamat 2012. Seringkali peristiwa yang dikabarkan sebagai meteor jatuh (kasus di Cirebon dan Karanganyar) hanyalah peristiwa lokal bukan peristiwa jatuhnya benda luar angkasa.
Mengingat potensi kerusakan yang mungkin ditimbulkan (apalagi sampah antariksa mungkin mengadung bahan radioaktif) maka LAPAN terus mengupayakan pemantauan benda-benda jatuh antariksa (namun saat ini baru pemantauan benda jatuh antariksa buatan yang sudah rutin dilakukan).
Apa yang dapat kita lakukan?
Kejadian badai Matahari dan jatuhnya meteor adalah dua peristiwa yang alami terjadi sebagai sunnatullah. Peristiwa ini akan terjadi walau tanpa campur tangan manusia. Yang dapat kita lakukan adalah menyesuaikan diri dan teknologi kita agar dapat selamat dari dua fenomena tersebut. Berbeda dengan sampah antariksa. Sampah antariksa adalah hasil sampingan dari teknologi yang diciptakan manusia. Dengan demikian manusia memiliki kekuatan untuk mengontrolnya.
Berbagai teknik telah dilakukan untuk membatasi populasi sampah antariksa mulai dari mencegah meledaknya motor roket, mengurangi jumlah komponen roket atau satelit yang terlepas (sengaja atau tidak), hingga menjatuhkan/mengambil roket atau satelit bersangkutan ke bumi (untuk kasus satelit LEO) atau melemparkannya sehingga menjauh dari wilayah satelit-satelit aktif (untuk kasus satelit GEO). Namun, dunia telah mengakui bahwa solusinya terletak pada kerjasama secara internasional untuk mengendalikan, membatasi, atau mengurangi populasi sampah antariksa tersebut.
Mengingat potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh sampah antariksa, sudah seharusnya seluruh negara yang telah mampu merancang roket dan satelit sendiri (termasuk negara kita) menyesuaikan rancangannya untuk mendukung upaya mitigasi sampah antariksa. Langkah bersama inilah yang dinilai paling efektif untuk mengurangi kecemasan dunia akan sampah antariksa di masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar